Diskusi Reflektif bertajuk “Bangsa Piye To Iki..?

Kamis (16/6) Bangsa ini pernah menjadi pelaku sejarah peradaban manusia ketika mampu menunjukkan karya-karyanya seperti pengetahuan tentang sistem pertanian akrab lingkungan, arsitektur penuh presisi dan indah, psikologi yang menyejukan hati, dan filsafat hidup harmoni. Juga karya peradaban material seperti Borobudur, Prambanan, teknologi pamor keris, wayang, gamelan, kapal, dan industri logam. Semua itu tercipta berkat kepemilikan atas etos kerja yang ketat dalam menjalankan disiplin, telaten, ketekunan, presisi, dan akurasi, ungkap Sugeng Bayu Wahyono dalam pembukaan Diskusi Reflektif “Bangsa Piye to Iki? Mencari Jawaban dalam Dunia Pendidikan”

Akan tetapi mengapa terjadi semacam keterputusan peradaban? Tiba-tiba saja bangsa ini menjadi bangsa kerdil,  tidak visioner, dan pemalas. Malas berpikir, malas menulis, dan malas nyambut gawe. Singkatnya menjadi bangsa yang  tidak mempunyai sejarah, sebagai subjek aktif pencipta peradaban. Dalam sekian lama kita menjadi bangsa kalah terus di bidang apa saja dengan bangsa-bangsa maju. Kita praktis hanya menjadi bangsa penonton kemajuan bangsa lain. Kita hanya menjadi penyaksi kisah sukses bangsa-bangsa lain. Tiba-tiba kita menjadi bangsa yang kehilangan daya produksi, dan terus terjebak dalam konsumerisme parah, tambah Bayu lagi.

Dialog yang diadakan di ruang Sidang I ini menghadirkan Dr. Zuly Qodir (Sosiolog dari UMY) Bambang Sigap Sumantri, MA (Wartawan Senior Harian Kompas) ST. Kartono (Guru SMA Kolese De Britto) dan Fery Indratno (Dinamika Edukasi Dasar) Diskusi ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah guru sudah yakin bahwa pengetahuan yang disampaikan pada murid benar? Apakah pengetahuan itu netral? Dari mana pengetahuan itu? Apakah bukan pengetahuan yang penuh kepentingan baik itu negara maupun agama? Bagaimana guru harus menyikapi ini? Kritis atau malah merayakan pengetahuan yang salah? Apalagi yang menyangkut sejarah? Betapa biasnya pengetahuan sejarah itu? Wah sekolah kita menjadi pemindah pengetahuan yang salah?

Didepan peserta diskusi yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, Kartono pun menggambarkan ketertinggalan dunia pendidikan terutama di daerah terpencil. Tidak hanya fisik sekolah saja, bahkan kurikulum, masalah keguruan juga tertinggal jauh sekali. Dan juga permasalahan dalam kegiatan belajar mengajar. Guru seharusnya bisa menemukan irama belajar yang menyenangkan. Hal ini diamini oleh Zuly Qodir yang menyatakan bahwa saat ini para siswa hanya dituntut untuk belajar terus. Keberhasilan siswa hany dihitung dengan angka,bukan kejujuran, tambah Zuly dengan nada prihatin. (ant)