Journal Club Politik Standarisasi Nasional Pendidikan

Kegiatan Journal Clup Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY bertema “Politik Standarisasi Nasional Pendidikan” mendatangkan narasumber Dr. Bramastia, M.Pd (Dosen Magister Sains Pasca Sarjana FKIP UNS Surakarta) yang membedah kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, khusus mengenai hilangnya nomenklatur lembaga Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Menurut Dr. Pujiriyanto, M.Pd selaku Ketua Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogjakarta berpendapat bahwa konsep pendidikan transformatif dalam rangka mengembangkan nalar kritis dan etika, jangan terjebak dengan euforia digitalisasi pendidikan.

“Kita justru lupa membelajarkan digital dan mendigitalkan belajar. Sehingga di tengah globalisasi ini, kita harus menjadi mesin evoluasi kultural,” terang Dr. Pujiriyanto, M.Pd.

Dalam pandangan Dr. Bramastia, M.Pd mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, khusus mengenai hilangnya nomenklatur lembaga Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) memang patut dipertanyakan. Selain persoalan hilangnya kata “Pancasila dan Bahasa Indonesia” sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi yang ketentuan sudah diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, masih ada hal lain yang perlu dikritisi.

“Hilangnya pasal tentang BSNP bukan sesuatu yang sengaja dan hal ini bisa menjadi “sinyal” pembubaran BSNP dari dunia pendidikan di tanah air. Hilangnya pengaturan BSNP dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 melanggar aturan karena tidak sejalan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 35 ayat 3 yang mesti pemerintah mengatur serta menjabarkan BSNP ke dalam PP, ” terang Bramastia.

Menurut Bramastia, kaum akademisi harus belajar dari sejarah yang membuktikan sebelum era reformasi, kurikulum bersifat sentralistik dan secara konten memang menunjukkan kepentingan politik dari rezim. Penentuan mata pelajaran wajib tunduk kepentingan ”rezim standardisasi” dengan dalih telah dikembangkan dan diuji melalui berbagai macam teorisasi maupun model pendidikan sejumlah negara lain.

“Adanya buku pendidikan terbitan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai buku wajib sekolah telah memberi gambaran kuatnya konsep ideologi negara, konstitusi nasional serta ide negara integralistik sebagai suatu prinsip panduan narasi bangsa,” terang Bramastia.

Menurut Bramastia, bahwa reformasi pendidikan nasional tentu tidak lepas daripada kepentingan politik negara. Sejarah membuktikan saat awal bergulir kebijakan SNP melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, proses pembuatan kebijakan pendidikan nasional sudah tidak lagi ditangani Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional. Kehadiran dari BSNP menjadi lembaga penyusun kebijakan tentang standarisasi pendidikan nasional secara halus telah menggeser peran alat birokrasi Depdiknas seperti Pusat Kurikulum.

Dalam pandangan Bramastia bahwa kehadiran BSNP dahulu menggeser pembuatan keputusan kebijakan pendidikan, utamanya pada kurikulum pendidikan nasional. Sebelum PP Nomor 19 Tahun 2005 terlahir, segala keputusan memproduksi kebijakan kurikulum awal mula hulunya berada di Balitbang Depdikas melalui Pusat Kurikulum.